Selasa, 01 November 2011

Prasangka, Diskriminasi dan Etnosenteris (ISD - Bab 8)

Stereotyping Terhadap Etnis Tionghoa

Suku bangsa Tionghoa (baca : Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Factor ini lah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Etnis Tionghoa dimanapun mereka berada sangat lekat dengan kebudayaan Tionghoa. Ini tak dapat dipisahkan dari karakter mereka sebagai bangsa perantau yang mempunyai tradisi menghormati budaya leluhur. Tak diragukan lagi Tionghoa adalah sebuah bangsa dengan kebudayaan yang sangat kuat. Budaya ini dipelihara turun temurun oleh rakyatnya selama berabad-abad. Walalupun keturunan rakyat Cina ini terserak ke seluruh penjuru dunia dan telah menajdi warga Negara di tempat mereka tinggal, budaya Tionghoa tetap lekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan mudah dapat ditemui Chinatown yang khas di seluruh Asia Tenggara, Amerika, Eropa, bahkan Afrika Selatan.
Di Indonesia saat ini terdapat 10 suku yang mendominasi dari segi jumlah, sejarah kemapanan budaya, dan melahirkan tokoh-tokoh nasional dari berbagai bidang. Suku bangsa itu adalah Bugis, Bali, Madura, Jawa, Sunda, Minang, Melayu, Batak, Aceh dan Tionghoa.
Kenyataan bahwa sudah banyak etnis Tionghoa tidak bias berbahasa Tionghoa lagi, di samping semakin besarnya jumlah mereka yang menjadi Kristen atau Islam, nampaknya tidak bisa mengubah pandangan umum tentang perbedaan budaya ‘yang besar’ antara etnis Tionghoa dan warga Indonesia lainnya.
Sampai hari ini persoalan orientasi politik selalu menjadi masalah yang mengganjal dalam sikap penerimaan WNI lainnya atas status etnis Tionghoa sebagai WNI yang disahkan oleh undang-undang (melalui SBKRI). Keraguan terhadap kesetiaan etnis Tionghoa kepada Negara-bangsa Indonesia ini adalah salah satu bentuk prasangka yang masih belum bias terhapuskan. Keraguan ini kian diperkuat oleh peristiwa tahun 1965 yang dikenal sebagai peristiwa G30-S/PKI yang diduga didalangi oleh pemerintah RRC.
Tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh negara terealisir melalui peraturan-peraturan resmi yang dibuat pemerintah yang berkuasa. Seperti kita ketahui ada sejumlah peraturan diskriminatif yang dibuat pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, dari pelarangan pertunjukan ritual dan kebudayaan Tionghoa di tempat-tempat umum, pelarangan mendirikan sekolah dan penerbitan berbahasa Tionghoa, sampai kepada anjuran untuk mengganti nama dan berasimilasi, termasuk juga peraturan-peraturan diskriminatif yang berlaku secara terbatas dalam bidang-bidang tertentu, seperti perbankan dan ekspor impor.
Beberapa contoh kerusuhan rasial yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa tahun 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, kerusuhan Mei 1998 dibeberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo dan lain-lain serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.
          Barulah pada pemerintahan Abdurrahman Wahid mengeluarkan keputusan pencabutan peraturan mengenai pelarangan kebudayaan. Banyak yang berubah semenjak larangan berbudaya Tionghoa dicabut pemerintah RI. Perayaan Imlek kini sama meriahnya dengan IduL Fitri dan Natal. Mal di kota-kota besar memerah penuh dengan ornament-ornamen Tionghoa. Lampion, kain merah, aksara Tiongkok terpampang dengan jelas. Acara-acara tv meriah dengan kuis-kuis dan pertunjukan berbau Tionghoa. Kursus mandarin laku keras, surat kabar berbahasa Mandarin menjamur. Walaupun selama 32 tahun penggunaan bahasa dan aksara Tionghoa dilarang, ternyata masih banyak angkatan senior yang fasih melafalkanya.

Solusi untuk pencegahan diskriminasi pada etnis Tionghoa :
1.    Adanya kesediaan dari etnis Tionghoa dan WNI untuk bersikap terbuka terhadap segala hal yang baru. Keterbukaan ini penting karena hanya dengan keterbukaanlah kita bisa mempunyai kepekaan terhadap tindakan diskriminatif.
2.    Memberi kesempatan seluas-luasnya bagi etnis Tionghoa menjadi pejabat publik. Namun pihak Tionghoa juga harus mengurangi dominasi ekonominya dengan melakukan redistribusi kekuatan ekonomi yang dikuasainya.
3.       Pendidikan multikulturalisme harus dimulai sejak usia dini. Anak-anak harus sudah diajari untuk menerima perbedaan tanpa merasa terancam, misalnya dengan menyekolahkan mereka di sekolah yang multi etnis dan multi agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar