Stereotyping
Terhadap Etnis Tionghoa
Suku bangsa Tionghoa (baca :
Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Leluhur orang
Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu
melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah
Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan
dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah
berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Factor ini lah
yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia
dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Etnis Tionghoa dimanapun mereka
berada sangat lekat dengan kebudayaan Tionghoa. Ini tak dapat dipisahkan dari
karakter mereka sebagai bangsa perantau yang mempunyai tradisi menghormati
budaya leluhur. Tak diragukan lagi Tionghoa adalah sebuah bangsa dengan
kebudayaan yang sangat kuat. Budaya ini dipelihara turun temurun oleh rakyatnya
selama berabad-abad. Walalupun keturunan rakyat Cina ini terserak ke seluruh
penjuru dunia dan telah menajdi warga Negara di tempat mereka tinggal, budaya
Tionghoa tetap lekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan mudah dapat
ditemui Chinatown yang khas di seluruh Asia Tenggara, Amerika, Eropa, bahkan
Afrika Selatan.
Di Indonesia saat ini terdapat
10 suku yang mendominasi dari segi jumlah, sejarah kemapanan budaya, dan
melahirkan tokoh-tokoh nasional dari berbagai bidang. Suku bangsa itu adalah
Bugis, Bali, Madura, Jawa, Sunda, Minang, Melayu, Batak, Aceh dan Tionghoa.
Kenyataan bahwa sudah banyak etnis
Tionghoa tidak bias berbahasa Tionghoa lagi, di samping semakin besarnya jumlah
mereka yang menjadi Kristen atau Islam, nampaknya tidak bisa mengubah pandangan
umum tentang perbedaan budaya ‘yang besar’ antara etnis Tionghoa dan warga
Indonesia lainnya.
Sampai hari ini persoalan
orientasi politik selalu menjadi masalah yang mengganjal dalam sikap penerimaan
WNI lainnya atas status etnis Tionghoa sebagai WNI yang disahkan oleh
undang-undang (melalui SBKRI). Keraguan terhadap kesetiaan etnis Tionghoa
kepada Negara-bangsa Indonesia ini adalah salah satu bentuk prasangka yang
masih belum bias terhapuskan. Keraguan ini kian diperkuat oleh peristiwa tahun
1965 yang dikenal sebagai peristiwa G30-S/PKI yang diduga didalangi oleh
pemerintah RRC.
Tindakan diskriminatif yang
dilakukan oleh negara terealisir melalui peraturan-peraturan resmi yang dibuat
pemerintah yang berkuasa. Seperti kita ketahui ada sejumlah peraturan
diskriminatif yang dibuat pemerintah Orde Baru sejak tahun 1967, dari
pelarangan pertunjukan ritual dan kebudayaan Tionghoa di tempat-tempat umum,
pelarangan mendirikan sekolah dan penerbitan berbahasa Tionghoa, sampai kepada
anjuran untuk mengganti nama dan berasimilasi, termasuk juga peraturan-peraturan
diskriminatif yang berlaku secara terbatas dalam bidang-bidang tertentu,
seperti perbankan dan ekspor impor.
Beberapa contoh kerusuhan
rasial yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa tahun
1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di
Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, kerusuhan Mei 1998 dibeberapa kota besar
seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo dan lain-lain serta berbagai kerusuhan
rasial lainnya.
Barulah pada pemerintahan Abdurrahman
Wahid mengeluarkan keputusan pencabutan peraturan mengenai pelarangan
kebudayaan. Banyak yang berubah semenjak larangan berbudaya Tionghoa dicabut
pemerintah RI. Perayaan Imlek kini sama meriahnya dengan IduL Fitri dan Natal. Mal
di kota-kota besar memerah penuh dengan ornament-ornamen Tionghoa. Lampion,
kain merah, aksara Tiongkok terpampang dengan jelas. Acara-acara tv meriah
dengan kuis-kuis dan pertunjukan berbau Tionghoa. Kursus mandarin laku keras,
surat kabar berbahasa Mandarin menjamur. Walaupun selama 32 tahun penggunaan
bahasa dan aksara Tionghoa dilarang, ternyata masih banyak angkatan senior yang
fasih melafalkanya.
Solusi untuk pencegahan
diskriminasi pada etnis Tionghoa :
1.
Adanya
kesediaan dari etnis Tionghoa dan WNI untuk bersikap terbuka terhadap segala
hal yang baru. Keterbukaan ini penting karena hanya dengan keterbukaanlah kita bisa
mempunyai kepekaan terhadap tindakan diskriminatif.
2.
Memberi
kesempatan seluas-luasnya bagi etnis Tionghoa menjadi pejabat publik. Namun pihak
Tionghoa juga harus mengurangi dominasi ekonominya dengan melakukan
redistribusi kekuatan ekonomi yang dikuasainya.
3.
Pendidikan
multikulturalisme harus dimulai sejak usia dini. Anak-anak harus sudah diajari
untuk menerima perbedaan tanpa merasa terancam, misalnya dengan menyekolahkan
mereka di sekolah yang multi etnis dan multi agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar