Seks
Bebas Pada Remaja
Masa
remaja merupakan masa pengalihan atau masa transisi dimana pada masa ini adalah
fase perubahan dari fase anak-anak menjadi dewasa. Pada fase ini remaja
biasanya lemah dalam penggunaan nilai-nilai, norma dan kepercayaan, labil, serba
ingin tahu dan terdakang kurang bisa mengendalikan emosi maka kecenderungan
yang ada mereka lebih suka bertindak ceroboh, trial dan error sebab itulah
remaja sering melakukan tindakan yang bisa disebut penyimpangan sosial.
Dewasa
ini, jenis penyimpangan sosial yang sering dilakukan remaja adalah perilaku
seks bebas. Perkembangan zaman
sepertinya sejalan dengan perkembangan tingkat remaja yang melakukan
seks bebas. Seks bebas atau dalam bahasa populernya disebut extra-marital
intercourse atau kinky-sex merupakan bentuk pembebasan seks yang dipandang
tidak wajar, bukan saja oleh agama dan negara bahkan juga oleh filsafat.
Hanya
sekedar untuk memenuhi tabiat aktualisasi diri yang berlebihan, ia rela
mengorbankan moralitasnya untuk mendapatkan pujian dari kelompok referensinya. Di
sinilah pentingnya pendidikan seks yang lebih transparan dan bertanggung jawab,
untuk menghindari munculnya bentuk pembebasan seks bebas. Dalam hal ini ada faktor-faktor
yang melatar belakanginya :
1.
Kurangnya bimbingan dari orangtua
2.
Pemilihan lingkungan yang tidak
tepat
3.
Kurangnya pendidikan ilmu agama
4.
Partisipasi guru di sekolah
Seks
bebas sudah dianggap biasa, padahal dengan melakukan seks bebas sudah merusak
nilai-nilai sosial, pendidikan pengetahuan, kesehatan reproduksi memang sangat
penting namun jangan sampai salah kaprah dalam penerapannya. Faktor resiko
tertular HIV/AIDS pun bergeser dari kelompok jarum suntik ke kelompok perilaku
seks bebas. Fakta tersebut diperoleh dari bertambahnya jumlah penderita
HIV/AIDS yang disebabkan oleh perilaku seks bebas.
Implikasi untuk memberikan
solusi yang dipandang relevan antara lain :
1.
Keterbukaan dan transparansi dalam
proses pendidikan seks adalah penting. Bukan
saja pendidikan seks yang disampaikan melalui sekolah, media massa, saluran
komunikasi public dan lain-lain, tetapi yang paling penting pendidikan seks di
dalam keluarga. Karena keluargalah agen sosialisasi yang pertama sebelum remaja
melakukan sosialisasi dengan institusi lainnya.
2. Kembangkan komunikasi dengan anak
yang bersifat suportif. Komunikasi ini ditandai lima kualitas ; openness, empathy
supportiveness, positiveness dan equality.
3. Tunjukkanlah penghargaan secara
terbuka. Hindari kritik, jika terpaksa, kritik harus disampaikan tanpa
mempermalukan anak dan harus ditunjang dengan argumentasi yang masuk akal.
4.
Latihlah anak-anak untuk
mengekspresikan dirinya.
5. Perlu disusun kurikulum pendidikan
tingkat SLTP maypun SLTA yang memungkinkan terjadinya proses pendidikan seks
itu pada mata pelajaran biologi dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar