Senin, 26 September 2011

Warga Negara dan Negara (ISD - Bab 5)


"Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran"

       Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak, undang-undang kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiilki satu kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orangtua bercerai, tentu pihak ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.         
           Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. 
           Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. 
           Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
          Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
          Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran. Adapun undang-undang yang mengatur tentang WNI adalah UU No. 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan RI melalui permohonan.
Solusi untuk anak hasil kawin campur untuk menjadi WNI dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.    Telah berusia 18 tahun atau sudah menikah.
2.  Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah NKRI sedikitnya 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
3.    Sehat jasmani dan rohani.
4.    Dapat berbahasa Indonesia.
5.    Mengakui dasar Negara Pancasila dan UUD 1945.
6. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun.
7.    Tidak mempunyai kewarganegaraan ganda.
8.    Mempunyai pekerjaan dan/atay berpenghasilan tetap.
9.    Membayar uang pewarganegaraan ke kas Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar